Sudah bukan rahasia lagi kalau budaya literasi di Indonesia masih terbilang rendah ya. Masyarakat masih belum menganggap bahwa membaca buku itu penting. Konon lagi menganggapnya sebagai kebutuhan, masih jauhlah pastinya. Meskipun bila dibandingkan dengan beberapa tahun silam, akhir-akhir ini geliat membaca masyarakat mulai ada peningkatan yang lebih baik. Contoh di sekolah-sekolah. Kalau dulu, perpustakaan sekolah itu umumnya di pojokan, isinya buku-buku lama, banyak debu, ngga nyaman lah dikunjungi. Tapi sekarang, sekolah-sekolah mulai berlomba memperbaiki perpustakaannya karena tuntutan dinas, orangtua, atau latar belakang lainnya. Koleksi buku yang dimiliki juga semakin bagus dan menarik buat siswa. Program-program dibuat untuk menarik minat pengunjung perpustakaan. Ditambah lagi buku-buku saat ini banyak terbit dari beraneka macam latar penerbitan dengan tampilan dan isi menawan. Siapa yang tak suka?
Kalau kita lihat dari tingkat dunia, kualitas literasi kita mungkin masih jauh dibandingkan negara-negara lain. Tak usahlah kita membahas peringkat atau urutan ke berapa. Realitanya, budaya literasi kita memang masih rendah. Jika di negara-negara Barat pemandangan orang membaca di kendaraan umum atau ketika menunggu/mengantri itu sudah biasa, di kita justru masih langka. Jika di negeri-negeri Timur Tengah kita umum menyaksikan masyarakat memegang kitab suci dan membacanya dalam aktivitas, di kita itu mungkin terlihat janggal.
Sebenarnya apa sih penyebab budaya literasi atau minat baca masyarakat Indonesia kita rendah? Banyak faktornya.
1. Keluarga
Manusia dewasa pasti dimulai dari anak-anak. Anak bersinggungan pertama kali dengan keluarganya. Bagaimana bisa mengharapkan anak hobi membaca jika di lingkungan keluarganya tidak terbiasa dengan buku atau aktivitas membaca. Orangtua tidak pernah mengenalkan atau antusias dengan buku, tentu anak-anak cenderung mencontoh apa yang dia lihat. Agar bisa membentuk anak yang suka baca, maka butuh situasi yang kondusif agar bisa mengkondisikan anak tertarik dengan buku.
2. Masyarakat
Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Balik ke poin 1 tadi. Kalau di keluarga sudah tidak suka baca, terjun ke masyarakat tentu membawa bibit tidak suka baca. Ini logikanya.
3. Pengaruh teknologi
TV, gadget, internet, atau teknologi gaming yang super canggih dan menarik mengalahkan sosok buku bagi anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Orang lebih senang memegang telepon pintar di angkot ketimbang buku. Lebih asyik mainan gadget.
4. Sekolah
Sekolah-sekolah yang kurang memotivasi anak membaca, kurang perhatian ke dunia perbukuan, ini juga jadi faktor penting. Guru-guru masih banyak yang tidak suka membaca. Bagaimana siswa bisa suka buku jika sehari-hari yang dilihatnya guru sibuk dengan HP, dengan bergosip, dsb. Coba kalau siswa melihat gurunya sebentar-sebentar baca buku di waktu luangnya, tentu siswa akan merasa penasaran; Gurunya sedang apa? Gurunya baca apa? Dan bukan menutup kemungkinan akhirnya mereka jadi tertarik ingin meniru. Anak adalah perekam ulung. Dia akan merekam apa yang dilihatnya.
5. Sarana baca yang minim.
Barangkali, alasan ini bisa kita mafhumkan di daerah-daerah terpencil atau sulit dijangkau karena keterbatasan akses buku. Tapi, untuk kota-kota besar, minimnya sarana sebenarnya bukanlah menjadi alasan. Toh sudah banyak taman-taman baca atau perpustakaan daerah gratis untuk dibaca bukunya. Buku-buku di perpustakaan daerah masing-masing sebenarnya sudah bagus-bagus. Buku anak beraneka ragam bisa kita pilih. Fasilitas untuk anak-anak juga sudah banyak.
Jika dikatakan banyak dari kita tidak mampu membeli buku karena mahal, realitanya kita ternyata mampu membeli baju seharga ratusan ribu, dan itu sering, terkecuali bagi keluarga yang tidak mampu. Ironis memang.
Jika kita kaji ulang, rendahnya minat baca dan budaya literasi kita ternyata memang karena sistemnya sudah terbentuk sedemikian rupa dari bawah sampai atas. Termasuk kurangnya motivasi.
Selain permasalahan di atas, di kalangan remaja Indonesia pun cenderung lebih populer novel-novel teenlit atau genre-genre yang bertabur romansa muda-mudi, khayalan semu dunia remaja, dan sejenisnya. Ini tentunya sangat berpengaruh terhadap pola pikir remaja kita. Bukanlah isapan jempol pernyataan yang mengatakan bahwa jika ingin menghancurkan sebuah negara, hancurkan pemudanya. Atau pernyataan bahwa negara-negara yang tingkat membacanya tinggi, cenderung lebih maju dibanding yang rendah. Apa yang diasup, itulah yang diserap. Lantas bagaimana kira-kira kita menghadapi hal ini? Bagaimana kira-kira cara agar buku itu menjadi penting di mata masyarakat? Tak sekedar buku picisan melainkan buku-buku bergizi. (maaf, ini saya agak subyektif terkait masalah buku picisan atau bergizi, tapi berusaha lebih obyektif secara sudut pandang keilmuan)
Barangkali kita bertanya-tanya, mengapa buku-buku novel teenlit atau buku-buku lainnya yang sebenarnya isinya biasa saja, bahkan mungkin tidak bergizi, tidak terlalu bagus, tapi bisa sangat populer di masyarakat? Dan mengapa banyak buku-buku berkualitas dan bergizi justru tidak menjadi populer di masyarakat? Semua ini menurut saya karena faktor ‘woro-woro’. Buku bagus tidak akan dikenal luas oleh masyarakat apabila sedikit yang membicarakannya. Kebalikannya, buku yang biasa-biasa saja bisa menjadi best seller dalam tempo singkat karena banyak yang membicarakannya. Booming.
Menurut saya, di sinilah salah satu peran penting para pembaca buku seperti kita: sebagai magnet literasi.
Tahu magnet yah. Kalau mendekat ke kutub yang berbeda, jadinya tarik-menarik. Begitu juga dengan para penyuka baca dan penggila buku, semangatnya harusnya mampu menarik orang-orang yang belum suka membaca menjadi suka. Yang tadinya sukanya roman-roman picisan beralih ke buku-buku berwawasan. Jika banyak buku-buku bergizi, meskipun novel, dilahap orang masyarakat, ini lambat laun akan membentuk pola pikir yang lebih baik. Para pembaca buku, penggila buku, kutu buku atau apapun istilahnya bagi mereka-mereka yang sangat suka membaca adalah magnet-magnet literasi yang dituntut agar aktif dalam membicarakan buku. Hari ini buku. Besok buku. Lusa buku.
Buku A diulas, dibicarakan, dikupas, disebarkan ulasannya atau woro-woronya ke orang lain, perlahan-lahan orang akan mengenal dan mengetahui buku tersebut. Seperti iklan yang selalu tayang berulang-ulang dan menjadi asupan alam bawah sadar manusia, begitulah seharusnya perlakuan kita terhadap buku agar orang-orang semakin tertarik. Ada banyak mutiara terpendam di lautan buku di pasaran Indonesia. Banyak berlian yang sebenarnya perlu digali, dikorek, dan diperlihatkan ke khalayak ramai sehingga masyarakat tahu ada buku bagus di sini. Untuk mengajak orang suka membaca buku jika dilakukan secara langsung barangkali ini agak sulit terjangkau. Kalau dalam bahasa marketing, lebih bagus kita melakukan soft selling ketimbang hard selling. Lewat curhat-curhat kita terhadap sebuah buku, kita pelan-pelan bisa menarik minat orang-orang atas buku itu.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai pembaca aktif?
- Membaca dan mengulas buku
- Posting ulasan di blog atau media sosial
- Bertindak sebagai konsultan buku. Maksudnya, ada banyak orang yang bingung ketika mencari sebuah buku. Buku ini bagus nggak? Buku itu cocok nggak untuk saya? Buku ini terlalu berat nggak untuk pemula? dan hal-hal semacam itu. Sebagai pembaca aktif, umumnya kita sering membaca banyak buku. Di sini kita bisa berperan sebagai konsultan buku. Menginformasikan hal-hal yang perlu diketahui calon pembaca.
- Meminjamkan buku atau membuka taman baca
- Mengadakan diskusi-diskusi seputar buku
- dll
Bukan tak mungkin hal-hal kecil seperti ini nantinya bisa mendatangkan kebaikan untuk generasi penerus kita. Dimulai dari diri sendiri, baru menularkan ke orang lain. Semoga semangat membaca kita bisa menular ke orang-orang di sekitar kita.
Buku-buku yang bisa dibaca untuk tambahan semangat dan referensi:
- Membuat Anak Gila Membaca – Mohammad Fauzil Adhim
- Dari Buku ke Buku – P. Swantoro
- Gila Baca ala Ulama – Ali bin Muhammad al Imran
Komentar Terbaru